Rabu, April 21, 2010

Kartini's day..


Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Bukan, Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal disana sesak juga rasanya
Kutipan surat Kartini yang ditujukan kepada Nona Zeehandelaar 6 November 1899 dari Door Duisternis tot Licht buku Habis Gelap Terbitlah Terang

sudah merenungkah kita wahai wanita???
sudah banggakah kita atas apa yang kita gapai?
sudah cukupkah peran yang kita berikan..
haruskah kita tetap berdiam diri..
menyaksikan betapa banyaknya kaum kita di luar sana..
yang berhasil mimpi-mimpinya...
sementara kita hanya berkutat berharap asa tak pasti bagai benalu..
di masa ini...saatnyalah kita tunjukkan..
bahwa kaum kita mampu berdikari..
mengubah stigma kolot tentang kita .....
bukan berarti emansipasi adalah egoisme..
egoisme yang semata-mata menggugurkan kewajiban naluriah..
egoisme yang semata-mata menjadi dalih kebebasan tanpa batas
tapi jadikan emansipasi sebagai jalan menuju kehormatan
bagi banyak lingkup kehidupan...
 keluarga..agama...negara!!
belum ada kata terlambat untuk bangit!!
(by Me)

Btw, ada salah satu artikel Dr. Yusuf Qhardawi yang sangat saya sukai. Bertemakan emansipasi wanita. Artikel ini banyak dimuat di berbagai media (apalagi saat hari kartini gini). Semoga bermanfaat khususnya bagi kita kaum wanita. Monggo disimak!!

Citra suatu peradaban terefleksi melalui kondisi perempuan pada masanya, itulah pesan yang tersampaikan melalui syair Dr. Yusuf Qhardawi dalam pengantar buku Kebebasan Wanita. tersebut Perempuan memegang peranan vital dari peradaban itu sendiri. Dari perempuanlah generasi-generasi pembangun peradaban itu dilahirkan. Melalui pendidikan dalam keluarga, perempuan jugalah yang menentukan akan menjadi seperti apa generasi penerus kelak. Pemimpin atau pecundang? Alim ulama atau pendosa? Seorang yang bermanfaat atau sekedar sampah masyarakat? Semua itu bergantung pada sejauh mana perempuan menyadari betapa berharga diri mereka dan betapa besar tanggung jawab yang dipikulkan peradaban ke pundak mereka. Karena sejatinya, perempuan adalah cermin peradaban.
Namun, memasuki abad 21 cermin itu kini penuh retak dan nyaris hancur. Bayangan peradaban pun porak poranda. Ironisnya banyak perempuan yang tidak menyadari bahwa biang kerok atas kehancuran wajah peradaban ini adalah diri mereka sendiri. Terlahir dari mispersepsi perempuan akan propaganda emansipasi.
Door Duisternis tot Licht, Habis Gelap Terbitlah terang. Karya terkenal berupa kumpulan surat tulisan RA. Kartini pada masa awal penjajahan itu sering disebut-sebut sebagai pencetus lahirnya gelombang emansipasi di negeri ini. Dalam buku yang diterjemahkan Arjmin Pane tersebut, terdapat surat Kartini yang ditujukan kepada Nona Zeehandelaar (6 November 1899):
Engkau bertanya, apakah asal mulanya aku terkurung dalam empat tembok tebal. Sangkamu tentu aku tinggal di dalam terungku atau serupa itu. Buan, Stella, penjaraku rumah besar, berhalaman luas sekelilingnya, tetapi sekitar halaman itu ada tembok tinggi. Tembok inilah yang menjadi penjara kami. Bagaimana luasnya rumah dan pekarangan kami itu, bila senantiasa harus tinggal disana sesak juga rasanya
Surat yang menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, keterbatasan hak dalam mengenyam pendidikan, mengemukakan pendapat, berkarya, hingga perlakuan yang menempatkan perempuan sebatas benda yang dimiliki dan bebas diperlakukan seenaknya itulah yang menginspirasi lahirnya semangat emansipasi. Semangat perjuangan demi menghantarkan perempuan Indonesia menuju mimbar kehormatan dan gerbang kebebasan. Di mana perempuan ditempatkan pada kemuliaannya yang semestinya.
Sayangnya, semangat Kartini untuk menempatkan perempuan sesuai dengan harkat dan martabatnya kini dimodifikasi dalam persepsi liar yang salah kaprah. Tanpa disadari, perempuan masa kini justru kembali terjerumus ke dalam penjajahan modern oleh emansipasi itu sendiri. Kebebasan dimaknai tanpa batasan hingga kebablasan. Terjadilah paradoks kegetiran yang tercermin nyata pada degradasi moral peradaban negeri. Melalui semangat emansipasi, perempuan jelas ingin dihargai. Namun pada kenyataannya, kini justru perempuanlah realisator unggul pengobralan kehormatan kaumnya sendiri. Dengan dalih kebebasan, perempuan berlomba-lomba membebaskan diri dari pakaian mereka dan mengeksplor setiap bagian tubuhnya pada khalayak. Mereka dengan percaya diri hanya menggunakan secarik kain, berjalan kesana kemari, dengan bangga meliuk-liuk di atas catwalk dan merelakannya dinikmati orang banyak.
Akibatnya, kriminalitas berupa eksploitasi perempuan kini menjamur di negeri ini. Lihatlah di berbagai alat dan media, dari video clip, film, olahraga, novel, bahkan sampai iklan dongkrak mobil yang jauh dari pencitraan perempuan pun seolah tidak afdhol jika tidak menampilkan sosok kaum hawa sebagai icon-nya. Ada sebuah fakta menarik dari ajang FFI (Festifal Film Indonesia) yang digelar pada tahun 2006. Diungkapkan oleh dewan juri bahwa 85% film cerita lepas yang masuk seleksi, sekitar 162 judul film, semuanya bertajuk eksploitasi perempuan dalam beragam bentuk, dari tindak kekerasan hingga obral kecantikan1. Mirisnya, lagi-lagi pledoi justru kembali hadir dari perempuan itu sendiri. Masih terngiang pula betapa alotnya kontroversi terkait pengesahan RUU APP (Antipornoaksi dan Pornografi). Mayoritas animo kontranya pun perempuan. Alasannya selalu sama, atas nama emansipasi, hak mengekspresikan diri, kebebasan untuk berkarya, dan pamungkasnya, ini bagian dari seni!”. Seni macam apa yang dimaksud? Seni pelecehan martabat perempuan oleh perempuan?
Perempuan boleh saja berdalih atas nama emansipasi seandainya dampak yang ditimbulkan hanya untuk diri mereka sendiri. Namun, bicara perempuan, maka kita bicara tentang peradaban. Dimulai dari eksploitasi perempuan inilah refleksi degradasi moral bangsa terbentuk. Pornografi dan pornoaksi menjadi akar berbagai permasalahan yang tak berujung. Berdasarkan Internet Pornography Statistic, Indonesia mulanya menempati peringkat ketujuh dunia sebagai negara pengakses pornoografi terbesar. Kondisi ini kemudian terus meningkat menjadi peringkat kelima pada tahun 2007 dan pada akhirnya meraih peringkat ketiga pada tahun 2009.
Prestasi yang juga cukup ‘membanggakan’ sebab Indonesia baru saja dinobatkan sebagai negara peringkat ke-62 dengan kasus pelecehan seksual terbesar di dunia pada tahun 20082. Di tahun yang sama, Indonesia juga mengalami peningkatan kasus kejahatan konvensional sekitar 1,3 %. Dari 153.392 kasus perkosaan di tahun 2007 menjadi 155.413 kasus di tahun 20083. 2.021 perempuan dihancurkan kehormatannya hanya dalam waktu satu tahun! Parahnya, kehancuran moral ini tidak hanya menelan korban perempuan dewasa, tetapi juga anak-anak. UNICEF mensinyalir 30 % kegiatan prostitusi di Indonesia melibatkan anak yang berusia di bawah 18 tahun, atau sekitar 40 ribu-75 ribu anak perempuan Indonesia telah menjadi korban eksploitasi4.
Permasalahan yang ditimbulkan pun semakin kompleks dengan berkembangnya budaya seks bebas sebagai cabang dari upaya memaknai kebebasan perempuan yang salah kaprah. Bebas berhubungan dengan siapapun tanpa perlu terikat oleh pernikahan. Cukup mengejutkan karena berdasarkan survei BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) di tahun 2008, 63% remaja SMP dan SMA di Indonesia sudah pernah melakukan seks bebas5. Wajah bangsa ini pun semakin hancur dengan penyebaran penyakit menular seksual yang tidak terbendung. Pada September 2008, 15.210 warga Indonesia positif terjangkit AIDS7. Luar biasa! Betapa berjasanya mispersepsi emansipasi menanamkan kebebasan nirmakna bagi bangsa ini tanpa bisa dipertanggungjawabkan.
Pantaslah jika setiap tahun terdapat sekitar 2,6 juta kasus aborsi, atau 300 tindakan pengguguran janin tak berdosa setiap jamnya di negeri ini. Tujuh ratus ribu di antaranya dilakukan oleh perempuan berusia di bawah 20 tahun dan 11,13 %-nya dilakukan karena kehamilan di luar nikah6. Berhubungan sebebas-bebasnya, kemudian membebaskan diri dari tanggung jawab dengan merampas kebebasan makhluk Tuhan untuk hidup. Inikah semangat emansipasi?
Mispersepsi emansipasi semakin kronis dalam upaya memaknai kesetaraan hak laki-laki dan perempuan. Kesetaraan disalahartikan dalam kesamaan hak dengan kaum pria di segala bidang. Hingga atas nama semangat emansipasi, perempuan saat ini berlomba-lomba untuk keluar rumah, berkarier demi mengejar “kesamaan” finansial dengan kaum pria hingga lupa pada kewajiban utamanya, mendidik anak-anak. Akibatnya, generasi penerus menjadi tak terurus. Pendidikan moral yang sejatinya diperoleh di rumah terabaikan. Krisis keteladanan pun memperparah daftar panjang deretan kasus yang meramaikan meja hijau setiap harinya.
Atas nama emansipasi, perempuan membunuh peradaban dengan mengahancurkan sosok-sosok kepemimpinan dalam diri generasi yang mereka tinggalkan di tangan baby sitter. Membiarkan generasi bangsa tumbuh dalam kebekuan hati karena kurang kasih sayang dari sosok Ibu yang hanya ditemui di malam hari menjelang tidur. Tidak ada yang mengajari mereka arti kejujuran, pentingnya menghargai orang lain, hingga hal yang paling esensi, religiusitas pun tergadaikan oleh kesibukan perempuan mengejar “kesamaan” yang sejatinya tidak mungkin dicapai.
Carut marut degradasi moral pun mencekik bangsa ini dalam detik-detik menuju momentum nekrosis. Hingga hari ini, saat Indonesia dibuat pusing oleh korupsi yang merajalela, sadar atau tidak, perempuan memegang andil besar di balik bencana tersebut. Lalu, sampai kapan perempuan akan bersikukuh dengan semangat emansipasi yang salah kaprah? Membiarkan wajah peradaban luluh lantak oleh moralitas anak bangsa yang semakin kacau? Sudah saatnya kebebasan berpikir dan berpendapat yang digaungkan emansipasi digunakan secara objektif.
Semua kekacauan yang ada dimulai oleh perempuan, maka pembenahannya pun harus dilakukan dari diri perempuan. Kunci perbaikan itu adalah pendidikan. Pendidikan utamanya ditujukan untuk merubah paradigma emansipasi yang keliru kepada hakikat sesungguhnya. Yakni kebebasan menentukan pilihan dalam hidup yang dimaknai seiring fitrahnya sebagai perempuan, bukan kebebasan yang tanpa acuan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan. Sebagaimana yang diungkapkan Kartini dalam salah satu suratnya ke Profesor Anton - masih dalam ‘kitab’ emansipasi perempuan Indonesia Habis Gelap Terbitlah Terang - :
“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”
Seandainya semua perempuan memahami betul betapa berharga dirinya dan tugas mulia yang diembannya, tidak akan ada lagi kasus-kasus mengerikan tersebut di negeri ini. Kesadaran bahwa secara kodrati perempuan berbeda dengan pria baik secara fisiologis maupun emosional mampu mengurangi risiko sebuah persaingan tanpa batas antara pria dan perempuan dalam memenuhi peran dan menjalankan berbagai aktivitas. Yang terjadi justru sebuah harmoni. Saat perempuan dan laki-laki saling melengkapi. Sebab, ada ukuran lain yang dapat dipakai dalam kesetaraan, yaitu rasa keadilan.
Saat pemahaman akan hakikat emansipasi yang sesungguhnya telah mengakar dalam diri perempuan, maka semangat emansipasi akan berbalik menjadi energi positif dalam menyatukan serpihan-serpihan cermin yang retak dan membangun keutuhan wajah peradaban. Dimulai dengan kembalinya perempuan kepada kodratnya hingga pelaksanaan tanggung jawab utamanya dalam mencetak generasi penerus yang berkualitas. Seandainya semua wanita memahami tanggung jawab besar ini dan dapat membina dengan baik keluarganya, dapat dipastikan bahwa refleksi peradaban Indonesia yang baik pun akan segera tercipta dengan sendirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar