Ijen.. seperti
halnya Bromo, telah tersohor di mancanegara khususnya wisatawan
eropa. Berkunjung ke bromo tidaklah afdol tanpa ke ijen. Itulah
ungkapan salah seorang wisatawan asing yang saya temui beberapa bulan
lalu di Penanjakan Bromo. Seolah-olah bromo-ijen sudah menjadi satu
paket tour beberapa biro wisata luar negeri sebelum akhirnya
berlanjut ke Bali.
Ini kedua kalinya
saya menyambangi kawah ijen. Kunjungan saya pertama tahun lalu begitu
membekas karena sesuatu yang tak biasa. Ya.. tidak biasa karena saya
berangkat kesana bertepatan dengan hari raya Qurban melalui jalur
selatan (Desa Licin). Sesuatu yang tak saya
prediksi sebelumnya karna di hari besar jelas truk penambang belerang
yang biasa menawarkan jasa mengantar para pendaki lokal sedang
libur. Alhasil sayapun terpaksa melewati medan jalur Licin yang
terkenal ganas itu dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 15 km.
Hal yang begitu konyol dimana setiap kami berjalan hartop-hartop bule
melintas dengan mendongakkan kepala para penumpangnya keluar jendela.
Dengan terheran-heran bule2 itupun melihat saya ngesot melalui
bebatuan menanjak, belum lagi melewati Letter S atau yang biasa
disebut penduduk sekitar dengan Tanjakan Erek-Erek. Tanjakan yang
terkenal memakan korban masuk ke dalam jurang. Dan perjalanan saya di
jalur Licin waktu itu seakan tak berakhir dengan kondisi lelah dan
hujan. Setelah 5 jam berjalan, seperti menemukan surga saja setelah
saya membaca plat bertuliskan : Paltuding!!Pos cagar alam kawah ijen.
Well itu dejavu setahun yang lalu. Sekarang planning ke kawah ijen
pun muncul lagi dan musti dipersiapkan segalanya secara matang.
Saya
berjanji pada diri sendiri untuk kembali mengunjungi ijen hanya karna
2 hal : pertama,tahun lalu saya tak bisa berlama-lama di puncak
karena sesak nafas akibat kepulan belerangnya, kedua: begitu sampai
puncak batere kamera habis, so gak bisa motret point of view yang
terkenal itu. Alhasil kamera hp jadul bermodus vga hanya bisa
jadi memori dengan kualitas gambar ala kadarnya hehehe.
Alhamdulillah
celengan libur masih tersisa. Akhirnya saya
memutuskan berangkat pada H+5 lebaran. Berbeda dengan tahun lalu
yang melewati jalur dari desa Licin Kabupaten Banyuwangi, kali ini
saya sengaja lewat Jalur Sempol Kabupaten Bondowoso atau jalur utara.
Rute ini lebih menguntungkan karena jalan yang tidak serusak klo kita
lewat Licin.
Perjalanan panjang
menggunakan sepeda motor (hehe lagi-lagi) saya tempuh kurang lebih 7
jam dengan rute Malang-Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Bondowoso. Dari
Bondowoso berbelok ke Desa Sempol tepatnya. kanopi kebun kopi yang
indah menyambut begitu memasuki desa ini. Jajaran tanaman kopi
arabika yang berhektar-hektar luasnya menyajikan pemandangan yang
sejuk. Luas sekali. Mungkin kebun kopi arabika milik PT Persero XI
ini memasok sebagian besar kebutuhan kopi tanah air.
Selain menyugukan
obyek agrowisata kopi, di sempol juga terdapat beberapa obyek wisata
lain seperti pemandian air panas (yang sumber airnya langsung dari
kawah ijen,so mengandung belerang yang berkhasiat untuk beberapa
solusi penyakit kulit), serta air terjun Blawan yang tidak jauh dari
pemandian air panas bila kita tempuh dengan berjalan kaki. Ada yang
unik dari air terjun Blawan, bahwa debit air terjun ini kecil tidak
seperti air terjun lainnya, tetapi mempunyai arus yang lumayan deras.
Melanjutkan
perjalanan menuju paltuding (pos bermalam sebelum mendaki ke kawah
ijen), saya beristirahat sejenak di sebuah homestay arabica milik
persero XI yang menyuguhkan view luar biasa. Singgah sejenak sambil
ngopi disini kita akan disuguhkan komplek pegunungan ijen dan merapi
yang begitu indah dari kejauhan. Asap belerang yang mengepul ke
langit tampak dari homestay. Serta hijaunya perbukitan cagar alam
ijen sungguh membuat semakin betah berlama-lama saja
Beberapa
fasilitas peristirahatan lumayan lengkap disini. Maklum sebagian
pengunjung kawah ijen adalah turis mancanegara, jadi fasilitas
penginapan dibuat semaksimal mungkin meski berada di tengan hutan
rimba hehe.. Perjalanan ke paltuding harus berlanjut karena hari
semakin gelap. Sesampainya di paltuding, seperti biasa kita harus
mengurus administrasi/perijinan sebelum melakukan pendakian. Esoknya,
pagi buta setelah subuh, dimulailah tracking.
Mendaki ijen tidak
membutuhkan waktu yang lama, kurang lebih 2-3 jam saja dengan medan
yang biasa dilalui para penambang belerang.
Bagi yang pertama kali
kesini mungkin akan dibuat terkesima oleh lalu lalangnya para pemikul
belerang yang perkasa. Bukan perkara mudah memang memanggul beban
belerang 75-80 kg dengan melewati medan naik turun gunung. Sekedar
informasi bahwa hasil jerih payah penambang belerang ini dihargai Rp
625,- per kilonya. Tiap pikulnya berkisar rata-rata 75-80 kg. dalam
sehari mereka bisa menenteng pulang-pergi 3x . Jadi kalau dihitung
kira-kira: Rp. 625 x 75 x 3 x 30 = 4 juta lebih / bulan. Gaji yang
lumayan besar untuk ukuran seorang penduduk yang hidup di daerah
pelosok seperti itu, tapi kupikir juga tak sebanding dengan resiko
dan beban yang begitu besar, naik turun gunung dengan memikul beban
75 kg saja sudah bikin geleng kepala. Itu sebabnya mayoritas penduduk
lereng gunung ijen menggantungkkan hidup sepenuhnya menjadi pemikul
belerang tradisional.
Konon kualitas
belerang ijen ini memang yang terbaik seIndonesia. Begitu kata salah
seorang buruh pemikul yang saya temui. Hasil belerang ijen ini
nantinya akan dikirim ke beberapa tempat pengolahan makanan dan
kosmetik kota-kota besar.
Di
suatu pondok pengepulan belerang tampak beberapa turis perancis
berkumpul menyaksikan kegiatan timbang menimbang belerang
yang tampak takjub dengan kekuatan para kuli belerang ini, beberapa
dari mereka juga tampak narcis berfoto meniru gaya para penambang
belerang membawa pikulan seberat 80 kg. Tapi tetap
saja tidak terangkat, mereka tidak seperkasa para penambang itu.
Berwisata
ke kawah ijen, jangan harap sperti tracking ke gunung yang mengharap
view sunrise. Kita takkan menemukannya
disini karena matahari akan terbit dari balik gunung merapi yang
membelakangi puncak kawah ijen, so: ”no sunrise”. Sebenarnya
puncak momen ijen bukanlah saat pagi atau siang hari, tapi ketika
matahari sedang berada di belahan bumi lainnya. Yuppp..di malam hari.
Kenapa?Karena bila kita sampai di bibir kawah ijen malam hari, maka
kita akan disuguhkan pertunjukan pantulan cahaya belerang yang muncul
dari kawah. Iluminasi warna dan cahaya yang berkilau keperakan di
kegelapan akan sangat memanjakan mata
Ya
seperti tahun lalu…tidak banyak yang
berubah dari medan ijen,meski awal tahun 2012 area kawah ijen sempat
ditutup untuk semua aktivitas baik wisata maupun penambangan belerang
karena erupsi.
Dan
begitu bersemangatnya saya ketika kepulan asap raksasa membumbung di
depan mata , menandakan sudah dekat lagi
menuju kawah, saya mempercepat langkah mendaki. Alhamdulillah
cuaca terang, saya mendapat view bagus kali ini.
Subhanallah..akhirnya saya kembali lagi kesini. Ya seperti janji
setahun lalu, kutitipkan rindu di tanah ijen dan kutepati janji itu,
Menginjakkan kaki lagi di danau kawah terbesar dan terasam di dunia :
Ijen Crater! Mata ini seolah tak ingin lepas memandang apa yang
tergelar disana. Sudahlah memang sulit untuk
menggambarkan kecantikan ijen dengan kata-kata. Saya bangga dengan
tanah air ini
Dan…blitz-pun
beraksi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar