Senin, September 10, 2012

Back to Ijen Crater


Ijen.. seperti halnya Bromo, telah tersohor di mancanegara khususnya wisatawan eropa. Berkunjung ke bromo tidaklah afdol tanpa ke ijen. Itulah ungkapan salah seorang wisatawan asing yang saya temui beberapa bulan lalu di Penanjakan Bromo. Seolah-olah bromo-ijen sudah menjadi satu paket tour beberapa biro wisata luar negeri sebelum akhirnya berlanjut ke Bali.

Ini kedua kalinya saya menyambangi kawah ijen. Kunjungan saya pertama tahun lalu begitu membekas karena sesuatu yang tak biasa. Ya.. tidak biasa karena saya berangkat kesana bertepatan dengan hari raya Qurban melalui jalur selatan (Desa Licin). Sesuatu yang tak saya prediksi sebelumnya karna di hari besar jelas truk penambang belerang yang biasa menawarkan jasa mengantar para pendaki lokal sedang libur. Alhasil sayapun terpaksa melewati medan jalur Licin yang terkenal ganas itu dengan berjalan kaki sejauh kurang lebih 15 km. Hal yang begitu konyol dimana setiap kami berjalan hartop-hartop bule melintas dengan mendongakkan kepala para penumpangnya keluar jendela. Dengan terheran-heran bule2 itupun melihat saya ngesot melalui bebatuan menanjak, belum lagi melewati Letter S atau yang biasa disebut penduduk sekitar dengan Tanjakan Erek-Erek. Tanjakan yang terkenal memakan korban masuk ke dalam jurang. Dan perjalanan saya di jalur Licin waktu itu seakan tak berakhir dengan kondisi lelah dan hujan. Setelah 5 jam berjalan, seperti menemukan surga saja setelah saya membaca plat bertuliskan : Paltuding!!Pos cagar alam kawah ijen. Well itu dejavu setahun yang lalu. Sekarang planning ke kawah ijen pun muncul lagi dan musti dipersiapkan segalanya secara matang.

Saya berjanji pada diri sendiri untuk kembali mengunjungi ijen hanya karna 2 hal : pertama,tahun lalu saya tak bisa berlama-lama di puncak karena sesak nafas akibat kepulan belerangnya, kedua: begitu sampai puncak batere kamera habis, so gak bisa motret point of view yang terkenal itu. Alhasil kamera hp jadul bermodus vga hanya bisa jadi memori dengan kualitas gambar ala kadarnya hehehe.

Alhamdulillah celengan libur masih tersisa. Akhirnya saya memutuskan berangkat pada H+5 lebaran. Berbeda dengan tahun lalu yang melewati jalur dari desa Licin Kabupaten Banyuwangi, kali ini saya sengaja lewat Jalur Sempol Kabupaten Bondowoso atau jalur utara. Rute ini lebih menguntungkan karena jalan yang tidak serusak klo kita lewat Licin.
Perjalanan panjang menggunakan sepeda motor (hehe lagi-lagi) saya tempuh kurang lebih 7 jam dengan rute Malang-Pasuruan-Probolinggo-Situbondo-Bondowoso. Dari Bondowoso berbelok ke Desa Sempol tepatnya. kanopi kebun kopi yang indah menyambut begitu memasuki desa ini. Jajaran tanaman kopi arabika yang berhektar-hektar luasnya menyajikan pemandangan yang sejuk. Luas sekali. Mungkin kebun kopi arabika milik PT Persero XI ini memasok sebagian besar kebutuhan kopi tanah air.


Selain menyugukan obyek agrowisata kopi, di sempol juga terdapat beberapa obyek wisata lain seperti pemandian air panas (yang sumber airnya langsung dari kawah ijen,so mengandung belerang yang berkhasiat untuk beberapa solusi penyakit kulit), serta air terjun Blawan yang tidak jauh dari pemandian air panas bila kita tempuh dengan berjalan kaki. Ada yang unik dari air terjun Blawan, bahwa debit air terjun ini kecil tidak seperti air terjun lainnya, tetapi mempunyai arus yang lumayan deras. 


Melanjutkan perjalanan menuju paltuding (pos bermalam sebelum mendaki ke kawah ijen), saya beristirahat sejenak di sebuah homestay arabica milik persero XI yang menyuguhkan view luar biasa. Singgah sejenak sambil ngopi disini kita akan disuguhkan komplek pegunungan ijen dan merapi yang begitu indah dari kejauhan. Asap belerang yang mengepul ke langit tampak dari homestay. Serta hijaunya perbukitan cagar alam ijen sungguh membuat semakin betah berlama-lama saja


Beberapa fasilitas peristirahatan lumayan lengkap disini. Maklum sebagian pengunjung kawah ijen adalah turis mancanegara, jadi fasilitas penginapan dibuat semaksimal mungkin meski berada di tengan hutan rimba hehe.. Perjalanan ke paltuding harus berlanjut karena hari semakin gelap. Sesampainya di paltuding, seperti biasa kita harus mengurus administrasi/perijinan sebelum melakukan pendakian. Esoknya, pagi buta setelah subuh, dimulailah tracking.  

Mendaki ijen tidak membutuhkan waktu yang lama, kurang lebih 2-3 jam saja dengan medan yang biasa dilalui para penambang belerang.



Bagi yang pertama kali kesini mungkin akan dibuat terkesima oleh lalu lalangnya para pemikul belerang yang perkasa. Bukan perkara mudah memang memanggul beban belerang 75-80 kg dengan melewati medan naik turun gunung. Sekedar informasi bahwa hasil jerih payah penambang belerang ini dihargai Rp 625,- per kilonya. Tiap pikulnya berkisar rata-rata 75-80 kg. dalam sehari mereka bisa menenteng pulang-pergi 3x . Jadi kalau dihitung kira-kira: Rp. 625 x 75 x 3 x 30 = 4 juta lebih / bulan. Gaji yang lumayan besar untuk ukuran seorang penduduk yang hidup di daerah pelosok seperti itu, tapi kupikir juga tak sebanding dengan resiko dan beban yang begitu besar, naik turun gunung dengan memikul beban 75 kg saja sudah bikin geleng kepala. Itu sebabnya mayoritas penduduk lereng gunung ijen menggantungkkan hidup sepenuhnya menjadi pemikul belerang tradisional.  

Konon kualitas belerang ijen ini memang yang terbaik seIndonesia. Begitu kata salah seorang buruh pemikul yang saya temui. Hasil belerang ijen ini nantinya akan dikirim ke beberapa tempat pengolahan makanan dan kosmetik kota-kota besar.
Di suatu pondok pengepulan belerang tampak beberapa turis perancis berkumpul menyaksikan kegiatan timbang menimbang belerang yang tampak takjub dengan kekuatan para kuli belerang ini, beberapa dari mereka juga tampak narcis berfoto meniru gaya para penambang belerang membawa pikulan seberat 80 kg. Tapi tetap saja tidak terangkat, mereka tidak seperkasa para penambang itu.


Berwisata ke kawah ijen, jangan harap sperti tracking ke gunung yang mengharap view sunrise. Kita takkan menemukannya disini karena matahari akan terbit dari balik gunung merapi yang membelakangi puncak kawah ijen, so: ”no sunrise”. Sebenarnya puncak momen ijen bukanlah saat pagi atau siang hari, tapi ketika matahari sedang berada di belahan bumi lainnya. Yuppp..di malam hari. Kenapa?Karena bila kita sampai di bibir kawah ijen malam hari, maka kita akan disuguhkan pertunjukan pantulan cahaya belerang yang muncul dari kawah. Iluminasi warna dan cahaya yang berkilau keperakan di kegelapan akan sangat memanjakan mata


Ya seperti tahun lalu…tidak banyak yang berubah dari medan ijen,meski awal tahun 2012 area kawah ijen sempat ditutup untuk semua aktivitas baik wisata maupun penambangan belerang karena erupsi.



Dan begitu bersemangatnya saya ketika kepulan asap raksasa membumbung di depan mata , menandakan sudah dekat lagi menuju kawah, saya mempercepat langkah mendaki. Alhamdulillah cuaca terang, saya mendapat view bagus kali ini. Subhanallah..akhirnya saya kembali lagi kesini. Ya seperti janji setahun lalu, kutitipkan rindu di tanah ijen dan kutepati janji itu, Menginjakkan kaki lagi di danau kawah terbesar dan terasam di dunia : Ijen Crater! Mata ini seolah tak ingin lepas memandang apa yang tergelar disana. Sudahlah memang sulit untuk menggambarkan kecantikan ijen dengan kata-kata. Saya bangga dengan tanah air ini
Dan…blitz-pun beraksi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar